Memang tidak mudah mengubah pola konsumsi yang sudah berjalan bertahun-tahun lamanya. Seseorang yang sudah terbiasa mengonsumsi nasi yang berasal dari beras dalam kesehariannya, kemudian dipaksa untuk menyantap bahan pangan nonberas, tentunya membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Anita misalnya, mahasiswi 22 tahun yang kuliah di Universitas Sriwijaya Palembang itu mengaku terbiasa mengonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya sehari-hari. Nasi itu pula yang dianggapnya sebagai bahan pangan yang memenuhi karbohindrat bagi tubuhnya. Ketika ada seseorang menawarkan umbi-umbian untuk mengantikan nasi sebagai makanan pooknya, Anita langsung menolaknya."Wah, sepertinya sulit. Apalagi umbi-umbian itu belum diolah" ujar gadis 22 tahun itu.
Anita beralasan ketika mengonsumsi singkong rebus, misalnya lidah terasa hambar sehingga dia sulit untuk menelan penganan itu. Bukan hanya soal rasa, keengganan Anita mengonsumsi singkong atau dikenal jug dengan ketela pohon itu berkaitan dengan soal gengsi.Warga Kota Palembang, itu beranggapan kalau mengonsumsi singkong rebus sebagai makanan sehari-hari, tetangganya kan mengecap dirinya seperti orang desa.
Gengsi, menurut Harry Susiabto, pengamat perilaku konsumen dari Universitas Indonesia, memang lekat dengan peilaku masyarakat indonesia, disamping rasa dengan penyajian makanan. Harry menganalogikan proses pengenalan makanan Jepang ke Indonesia. Bagi sebagian masyarakat Indonesia makanan-makanan Negeri Sakura itu dianggap cukup bergengsi. Dengan rasa yang pas dilidah dan penyajian menarik, sebagian masyarakat tanah air bisa menerima makanan-makanan asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar